Ada Banyak Cinta Dipasar Tradisional Sinunukan.

Pasar tradisional atau pasar modern (Hypermart, Carrefour, Giant, dan konco-konconya) mana yang lebih anda sukai? Saya tidak pernah mempertanyakan cinta saya pada dua macam pasar itu. Walaupun di kampung tempat saya tinggal saya saat ini belum ada supermarket, namun sedikit banyak saya tahu dunianya mall dan supermarket, bagaimana tidak? dalam pengembaraan saya selama 4 tahun dijakarta, kurang lebih setengahnya saya habiskan bekerja di mall dan supermarket, saya yang saat itu bekerja sebagai Sales Promotion di salah satu perusahaan elektronik kenamaan di negeri ini, kerap berpindah dari mall satu ke mall yang lain mengikuti even2 program perusahaan.
Anyway , pasar itu tak pernah sebegitu istimewa di hati saya. Saya tak pernah membandingkan kecintaan saya pada pasar tradisional dan pasar modern.
Namun pengalaman baru saya dua bulan terakhir di penghujung Juni hingga memasuki bulan ramadhan 2016 sedikit mengubah cara pandang saya tentang pasar tradisional, saya berkeliling pasar2 di Sinunukan dan sekitarnya mencoba peruntungan dengan menjual

buah semangka, kami membeli dari petani dikebun dan menjualnya kepasar, sekali belanja kami bisa membawa 2 ton buah semangka, walaupun ini pengalaman baru buat saya, saya menikmati proses bisnis kecil2an ini, proses bagaimana menyusun buah yang baik, proses bagaimana menjaga buah agar tidak mudah rusak, proses pagi2 buta harus menembus embun untuk mencari lapak karena kalau telat akan ditempatin pedagang lain, bagaimana kami berhadapan dengan ibu2 yang super tega, nawarnya sampai kandas mentok hha dan itu seru saudara2..
Dan jurus terakhir saya jika sudah kepepet saat tawar-menawar dengan enteng saya akan berkata "aduhh bu masa segitu aja mahal? coba ibu nanam sendiri harus nunggu berapa bulan? pupuknya aja udah berapa? Belum kalo diserang hama, ini kami cuma ngambil seribu dua ribu aja masa keberatan sih bu? untuk beli minyak mobil aja udah berapa bu? Ya kalo ada lebihnya buat jalan2 kejakarta hhe.."
Banyak suka dukanya juga menjalani bisnis kecil2an ini, diantara sukanya menjalani pengalaman baru saya ini adalah karena kegiatan kami positif, banyak apresiasi baik dari masyarakat, kemudian saat kami berkeliling dari satu pasar kepasar lain, kami bisa melihat atau berinteraksi dengan gadis2 cantik dari desa yang berbeda, sebagai seorang lajang tentu itu menyenangkan buat kami berdua, yang memang lagi jomblo semua hha..
Dukanya adalah ketika ada pembeli yang complain biasanya ibu2 "mas semangkanya yang kemaren saya beli ga merah, jadinya kurang manis" dengan berat hati saya pun menjawab "yaudah bu belilah lagi harganya saya diskon deh 25%". walaupun keutungan saya jadi tipis yang lebih penting pembeli tidak merasa dirugikan, karena saya sendiri kalo membeli sesuatu tidak sesuai yang di harapkan, saya juga akan kecewa dan untuk menjaga itu untuk pembeli yang complain saya akan beri diskon 25%, namun yang saya herankan kalo kurang bagus ko mau ya beli lagi hhe??
Ada sedikit pengalaman yang menyadarkan saya bahwa ternyata saya LEBIH mencintai pasar tradisional ketimbang pasar modern.
Peristiwanya simpel banget. Saya tengah belanja di Superindo malam itu (010413). Nilai total belanjaan saya sangat nanggung, karena sudah lama saya lupa berapa persisnya, tapi semacam Rp 60.500. Saya sodorkan uang enam puluh ribu. Lalu saya merogoh-rogoh dompet demi mencari koin limaratus rupiah. Dan kasir itu MENUNGGU! Menunggu saya membayar limaratus rupiah.
Ya ampun, batin saya. Di Pasar tradisional belanja Rp 31.000 saja kadang pedagangnya bilang, “Udah deh, tiga puluh aja, yang seribu nggak usah.”
Oke, saya tahu supermarket punya sistem yang besar dan karenanya harus ketat, karyawan harus diatur, uang harus dihitung sampai sen-sennya, mesin kasir nggak bisa bohong dan seterusnya. Tapi intinya bukan itu. Intinya, saya menemukan ‘jiwa manusia’ yang lebih besar di dalam pasar tradisional.

Keakraban
Pasar kami di Sinunukan itu kecil. Yang belanja juga cuma penduduk kampung sekitar. Penjualnya itu-itu aja, pelanggannya juga itu aja-aja. Otomatis kami saling mengenal. Saya tahu sebagian nama mereka, mereka juga tau nama saya..
Begitulah, ada kedekatan emosi antara penjual dan pembeli di pasar. Akibatnya? Pernah saya membawa ade sepupu saya yang baru 4 tahun, dia merengek minta rambutan, otomatis penjual terdekat tergopoh-gopoh memberinya rambutan. Kalau ia tak punya, ia akan berteriak meminta pedagang sebelah, “Nem, Painem, iki lo icha keono rambutan"  mereka memberinya beberapa butir, Kalau saya mau membayarnya, ia bilang, “Alah, udahlah, cuma dikit ini.”
“Aduh, Bu, kok saya jadi merepotkan,” kata saya tidak enak hati.
“Biasa aja mas, namanya juga anak-anak.”
Begitu pula kalau icha nunjuk sepotong jadah. Sebelum saya larang, penjualnya keburu bilang, “Ambil, dek.”
Hal seperti itu jelas tidak akan saya dapatkan di supermarket. Jangankan dapat sebutir rambutan gratis. Di rak duku saja ada tulisan, “Dilarang mencicipi!” Hah, padahal saya bisa mencicip duku berbutir-butir di pasar tradisional kami.

Fleksibel
Dalam hal fleksibilitas pasar tradisional benar-benar unggul. Begitu Anda sudah mendapat predikat pelanggan yang baik, tanpa uang di tangan pun Anda bisa belanja. Itu sering terjadi pada saya. Misalnya, saya ingin beli telur kampung tapi uang di dompet ternyata kurang, si penjual yang tentunya sudah dikenal dengan enteng akan berkata, “Udah bawa aja. Besok bayarnya.”
Awalnya saya merasa kikuk dengan sistem ini, tapi lama-lama justru saya yang kadang memulai, “Bu, saya mau beli telur kampungnya, tapi bayarnya nanti ya, lagi kering nihh”
Fleksibilitas lain adalah sistem ‘delivery’. Kalau belanjaan saya lumayan banyak, mereka dengan senang hati mengantarnya sampai ke rumah. Ada juga sistem ‘order’. Kalau Anda butuh barang yang agak berbeda dari komoditi yang biasa, semangka inul, telur bebek atau pisang raja misalnya, Anda bisa memesan dan esoknya si pedagang akan membawanya.
Fleksibilitas lainnya adalah soal jumlah. Anda boleh membeli apel sebutir saja, bakwan sepotong saja, bawang seribu saja. Suka-suka deh pokoknya..

Menawar
Satu hal yang jelas-jelas membuat saya lebih mencintai pasar tradisional adalah harganya yang sangat murah dan itu pun bisa ditawar! Saya jarang menawar sih. Kasihan. Saya merasa keterlaluan banget menawar barang yang sudah murah itu, sementara saya tak pernah protes saat harus membayar mahal di supermarket.
Pernah saya mau membeli sapu lidi. Harganya empat ribu per ikat. Empat ribu perak saudara-saudara. “Kalau beli tiga, sepuluh ribu ya Mbah?” tawar saya. Ini praktek yang sangat wajar. Simbah penjual sapu itu pasti juga sudah mempertimbangkan hal ini. Dia pasti memang berencana menjualnya sepuluh ribu per tiga ikat. Jadi meski ia terlihat agak ragu, ia tetap bilang, “Yaa…ya…manggo saja.”
Tapi apa yang terjadi? Saya nggak tega membayarnya sepuluh ribu saja. Jadi saya tetap membayar dua belas ribu untuk tiga sapu. Ya ampun, seberapa sih uang duaribu perak? Kok saya tega banget nawar. Simbah itu tampak kaget saat saya malah membayar lebih mahal setelah repot-repot menawar. Tapi saya merasa bahagia. Jujur saja, saya bahkan tak mau dibayar sepuluh ribu untuk membuat sapu semacam itu. Lagipula, tawar menawar kadang bukan soal harga, tapi soal komunikasi, soal berhubungan dengan sesama manusia.
Di pasar tradisional, nggak tahu gimana, harga itu bisa gila murahnya. Di pasar itu masih banyak komoditi yang bisa dibeli dengan uang seribu perak. Serius! Tahu goreng, bakwan ketela, bumbu dapur, balon tiup! Saya sampai nggak habis pikir membayangkan bagaimana rakyat kecil menggerakkan ekonomi. Karena saya ada usaha warung minum Jamu&TST88, saya tau banget belanja bahan dapur untuk keperluan warung saya dipasar tradisional, misalnya jeruk nipis bisa diketeng limaribuan, demikian pula dengan  bawang dan kacang panjang. Kangkung seikat dihargai dua ribu rupiah, durian sebutir yang lumayan besar di bandrol 20ribu saja, Ya ampun, murah gila! padahal saat saya dijakarta sebutir durian medan di supermarket bisa mencapai 150ribu sebutir.
Harga murah belum tentu kualitasnya jelek lho. Yang kerasa banget bedanya adalah buah-buahan. Buah di supermarket itu mahalnya pasti, enaknya belum pasti. Buah di pasar, hmmm, lebih sering terasa enak.
“Nggak berani Mas saya jual yang enggak enak,” kata si pedagang buah, “soalnya saya malu kalo ketemu orangnya lagi adaikata saya berbohong.” Alamak.
Seru
Yang juga mengasyikkan di pasar tradisional adalah serunya komunikasi yang berlangsung. Saling bercanda dan menggoda antar pedagang-penjual adalah hal biasa. Unek-unek, gosip, sampai caci maki juga sering terdengar di sini. Pokoknya nggak ada habisnya, saya juga sering becanda dengan penjualnya
“Aduh tomatnya cantik ya mba, kayak yang jual.”
“Ah, kayak yang beli dong, yang jual sudah punya anak dua.”
“Ya ampun, semangkanya mahal banget, nggak jadi turun mas?”
“Jadi Mbak, turun dari mobil tadi pagi.”
“Yah, telurnya mahal banget.”
“Tapi ya mau lagi, mau bertelur sendiri nggak bisa mas.”
Celetukan-celetukan seperti itu tak pernah basi biar sudah kami dengar berulang kali. Rasanya melegakan masih bisa tertawa bahkan di saat-saat yang paling sulit.
Walau demikian ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah dan kita semua, demi lebih tertatanya pasar didaerah kita, diantaranya adalah :

Lahan Parkir
Disini tuh banyak banget pembeli, tapi parkir sembarangan di kanan kiri jalan, dan membuat suasana semakin tidak nyaman. Apalagi kalau ada yang sedikit tersenggol, langsung mengeluarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Yang membahayakan adalah, ketika motor ini mau parkir, dan ada banyak anak kecil. Bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti anak itu kena knalpot motor yang panas, maka, supaya tempat ini tertata dengan baik dan tidak semrawut lagi dengan parkir motor yang sembarangan. Perlu sekali adanya lahan parkir yang nyaman dan aman dengan penjagaan yang ketat. Supaya berbelanja pun semakin enak, dan pembeli yang berbelanja pun semakin tenang dengan kendaraan yang dibawanya.

Toilet
Jujur saja, semenjak kenal pasar ini saya belum pernah menemukan toilet, Padahal ya pembeli ataupun penjual kan bisa saja tiba-tiba “maaf” buang air kecil pasti perlu banget ke toilet. Maka, toilet ini perlu sekali untuk dibuat sebaik mungkin, supaya antara penjual dan pembeli semakin nyaman.
Harapan saya sebagai salah satu warga Sinunukan, kiranya dua point diatas bisa menjadi perhatian pihak terkait dan kita semua tentunya sebagai warga Sinunukan yang baik, itu mengapa saya bela-belain menulis artikel ini, itu karena saya melihat ada banyak cinta dipasar tradisional Sinunukan, juga karena saya cinta kampung halaman saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku & Sinunukan Dalam Potret

Potret Hitam Putih Kehidupan

Melihat Pesona Pohon Menari Di Pantai Sikara-Kara