Mendaki Gunung Untuk Menghargai Hidup

Mendaki Gunung, Satu kegiatan yang oleh sebagian orang hanya dipandang sebagai kegiatan yang sia-sia. Tatapan mereka sinis dan tak jarang pula disertai dengan cibiran. Mereka pun berkata merendahkan, saat melihat sekolompok orang dengan carier sarat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman.
Mengapa bisa begitu? Itu lantaran tidak banyak yang bisa memahami apa yang dirasakan oleh seorang pendaki. Karena perasaan yang luarbiasa itu hanya bisa benar-benar dirasakan oleh mereka yang telah mendaki gunung (hanya mereka yang pernah memdaki). Sehingga karena ketidaktahuan itulah banyak orang yang berseloroh; “Ngapain cape-cape naik gunung, menghabiskan waktu dan uang saja. Sudah disana dingin, ee.. setelah sampai di puncak turun lagi. Sungguh sia-sia….”
Tetapi kawan, tengoklah ketika mereka memberanikan diri untuk bersatu dengan alam agar bisa mendapatkan pelajaran darinya. Mereka melangkah, merayap, duduk dan berbaring hanya untuk merasa lebih dekat dengan ibu pertiwi. Mereka sangat mandiri dengan kepercayaan diri yang tinggi. Angan-angan mereka tinggi dan harapan mereka berkobar di dalam aliran darahnya. Semangat mereka pun terus membara dan “pantang kembali sebelum tiba di puncak tertinggi”.
Wahai kawan. Para pendaki ini bukanlah orang-orang yang tak berguna. Mereka adalah jiwa-jiwa yang tulus dan penuh rasa menghargai. Cinta pun tak lepas dari hati mereka. Ada semboyan abadi bagi para pendaki, yaitu Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak, Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu. Tiga hal inilah yang selalu tertanam di benak dan sanubari sang pendaki sejati. Sehingga mereka menjadi pribadi yang santun dan pengertian. Jika tidak, patutlah kita mengatakan bahwa mereka hanyalah pecundang.
Begitulah segalanya terjadi. Prinsip seorang pendaki adalah, bahwa ketika kita peduli dengan alam, berarti kita telah peduli dengan kehidupan. Dalam sikap yang peduli dengan kehidupan itu, maka kita pun bisa lebih peduli dengan saudara, tetangga, bahkan musuh kita sendiri. Dan satu hal lagi yang tak mungkin dilupakan oleh seorang pendaki sejati adalah dimana ia akan benar-benar meyakini tentang kebesaran Tuhan, sehingga akan terus beriman kepada-Nya.
Mendaki gunung itu bukanlah menaklukkan alam, tetapi justru menaklukkan diri sendiri. Dengan menghancurkan ego pribadi, seorang pendaki sejati bisa berdamai dan bersahabat dengan dirinya sendiri. Mendaki gunung itu adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama. Dan tidaklah mudah untuk bisa menjadi salah satu dari mereka. Karena di butuhkan orang-orang yang memiliki perasaan yang sama tentang alam semesta, yaitu cinta.
Wahai kawan. Tidaklah mudah menjadi pendaki, terlebih dengan banyaknya anggapan miring dengan kegiatan ini. Apalagi yang menyangkut kematian, yang tampaknya lebih dekat dengan para pendaki. Lihatlah! Berulang kali tersiar kabar tentang pendaki yang tewas di gunung. “Mati muda yang sia-sia…” Begitulah komentar orang-orang saat melihat anak muda harus digotong dalam kantung jenazah oleh tim SAR. Padahal soal kematian siapa yang tahu? Mau di gunung atau di kamar tidur, semua bisa saja mati. Di gunung itu hanya salah satu dari sekian banyak alternativ suratan takdir manusia. Kalau ajal sudah waktunya, siapapun akan mati. Tak peduli tempat dan kondisinya.
Kawanku. Jika selalu ketakutan dengan kematian, maka tidak mungkin sejarah mencatat bagaimana gagahnya Ibnu Batutah atau juga Marcopolo dan Columbus dalam menjelajahi dunia. Bagaimana pula kehidupan ini bisa berjalan lebih baik bila para penemu pesawat terbang takut dengan ketinggian? Di gunung, di puncaknya, dimana kaki ini bisa berpijak, terdapat tempat yang penuh kedamaian. Seseorang pun akan merasa dekat sekali dengan Tuhan, sehingga menundukkan kepala untuk bersujud dengan hatinya sekaligus. Disana pula pembuktian diri, tentang sebatas mana kita bertekad. Tentang bagaimana kita bisa melepaskan keegoisan diri dan sifat manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya dengan kemampuan diri sendiri. Bahkan kita pun akan tahu alasannya mengapa kita hidup dan tujuan kita hidup di dunia ini.
Rasa cemas, takut, letih dan bosan memang ada selama di perjalanan. Tetapi jika kita memandang ke atas, melihat puncaknya, seolah-olah terlihat jelas semua harapan dan kebahagiaan yang menanti. Gunung itu memang tinggi, jalurnya terkadang ekstrim dan jurangnya pun sangat dalam, tetapi selain itu ia sangat ramah dan membiarkan dirinya diinjak-injak oleh kaki manusia. Ada banyak luka lecet di tangan, ada kram otot, ada kelelahan yang sangat di kaki, ada napas yang terasa sesak dan jantung yang rasanya mau pecah, ada rasa haus yang mencekik, dan ada pula tanjakan tinggi yang seolah-olah tak pernah ada habisnya. Namun semua itu akan segera terbayar lunas ketika telah tiba di puncaknya. Semua pengorbanan itu tak sepadan dan tak ada artinya lagi, ketika kedua kaki bisa berdiri di puncak tertingginya.
Puncak gunung adalah puncak dari segala puncak. Ia bahkan bertambah nikmat tatkala kabut menyelimuti atau hembusan semilir angin menerpa diri dan sang surya pun terbit atau tenggelam di ufuknya. Sebuah maha karya yang sangat indah dari Sang Pencipta. Yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, lantaran hanya bisa terpana dan menangis terharu. O… betapa kecilnya diri ini, sedangkan Engkau wahai Tuhanku, teramat Agung dan Berkuasa.
Wahai kawan. Hanya bagi mereka yang bergelut dengan alamlah yang mengerti bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam tekanan mental dan fisik. Bagaimana pula alam bisa merubah karakter seseorang. Karena alam bisa menjadi ibunda yang pengasih, tetapi bisa pula berbalik menjadi sangar dan menakutkan. Dan bila ada yang berpendapat minor tentang kegiatan alam ini, maka biarkan saja. Sebab siapa saja yang beranggapan begitu, yang memandang kegiatan ini sia-sia dan hanya mengantarkan nyawa, adalah tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Mereka itu hanya belum paham, bahwa ada satu cara yang mereka tidak bisa merasakannya, seperti yang dirasakan oleh seorang pendaki. Yaitu sebuah kemenangan disaat kaki sudah tiba di puncak tertinggi.
Sungguh, semua kenangan indah di puncak gunung tertoreh abadi di dalam jiwa para pendaki. Sebuah pengalaman yang diraih setelah perjuangan panjang mengalahkan diri sendiri. Setelah diri berani mengambil keputusan di antara beberapa pilihan; terus mendaki atau berhenti sampai disini. Karena yakinlah, bahwa tidak hanya di gunung saja kita harus membuat keputusan di tengah tekanan. Dan betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan. Sebab kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Sehingga di gununglah kita belajar. Di gununglah kita bisa lebih baik dalam memilih yang terbaik.
Kawan ku. Satu pesan yang dapat diambil yaitu, janganlah lupa bahwa kita ini hanyalah makhluk kecil lagi lemah. Jangan pernah sombong, karena hanya mendaki satu gunung-Nya saja kita sudah hampir tak berdaya. Bagaimana bila harus menciptakan yang sama dengan ciptaan-Nya itu? Sehingga sadarlah, bahwa tunduk pada setiap perintah-Nya adalah jalan satu-satunya untuk bisa dikatakan bersyukur dan meraih kebahagiaan yang sejati.
Pun ingatlah, bahwa manusia itu suatu saat nanti akan kembali ke asalnya. Tidak ada yang abadi, sebab ia hanya diberikan waktu yang singkat saja. Hanya gunung yang tetap kokoh di tempatnya sebagai pasaknya bumi sampai waktunya nanti. Sementara manusia tidak. Ia haruslah senantiasa menghargai hidup dan mecintai tanah airnya salah satu caranya yaitu mendaki gunung. Semakin sering mendaki gunung, berarti semakin kita bisa menghargai hidup dan rasa cinta tanah air kita akan semakin tumbuh.
"Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Soe Hok Gie
Inilah Indonesiaku dengan segala keindahannya, dan aku berjanji untuk terus menyusuri tempat indah lainnya, menjaga dan menceritakannya kepada semua orang di dunia ini bahwa Indonesia memang Indah. Ingat jangan pernah meninggalkan sampah diatas gunung, karena gunung bukan tempat sampah.
Salam hormatku selalu untuk para kawan pendaki…
Sinunukan, 20 Agustus 2015 (Cs).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku & Sinunukan Dalam Potret

Potret Hitam Putih Kehidupan

Melihat Pesona Pohon Menari Di Pantai Sikara-Kara