The Art Of Doing Nothing, Seni Bengong
The art of doing nothing. Frasa itu saya dengar pertama kali dari seorang ekspat yang mengatakan tempat favoritnya di Indonesia adalah Lombok. “Di sana sepi, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali duduk-duduk di tepi pantai yang indah sambil membaca.”
The art of doing nothing atau seni bengong. Bengong saja kok pakai seni. Sebegitukah pentingnya bengong?
Saya dulu sering heran kok bisa ada orang bengong. Di angkringan, ada saja orang yang bisa duduk-duduk berjam-jam tanpa teman dan nggak ngapa-ngapain! Pas nunggu antrian, pas nunggu bus, banyak sekali orang yang bisa duduk atau berdiri nggak ngapa-ngapain. Tidak bercakap-cakap, tidak baca buku, tidak merajut, tidak mainin handphone, hanya membuang waktu. Ah, klo saya sudah mati kutu pasti begitu.
Masa kini HP (gadget) jadi penyelamat saat kita mati gaya. Tapi saya masih sering melihat manusia-manusia bengong seperti itu.
Saya adalah manusia tak tahan bengong. Sambil makan saja saya baca koran atau berita-berita online dari handphone. Eman-eman otak menganggur. Eman-eman waktunya.
Kalau lg nunggu (menunggu bus misalnya) saya mengusahakan baca artikel-artikel apa saja di internet melalui HP saya. Soalnya kalau tidak baca, bosan sakali rasanya. Saya tidak bawa tablet, tidak punya. Dan andai punya pun, saya tidak akan menggunakannya di tempat umum karena ukuraannya yg terlalu besar menurut saya, takut dibilang sok keren atau apalah.
Bengong Itu Susah
Saya jadi gelisah akhir-akhir ini, Kenapa sih, bengong nggak ngapa-ngapain terasa sangat susah bagi saya? Saya bisa blingsatan sendiri bila antri nggak bawa handphone atau buku. Handphone. Ya itu penyelamat saya. Dulu kalau saya traveling saya selalu bawa buku bacaan dan teka-teki silang. Kalau bosen baca, bisa ganti ngisi TTS. Bosen TTS-an, bisa baca. Pokoknya jangan sampai mati gaya.
Kini saya jadi kagum pada orang yang bisa bengong. Saya kagum melihat bapak tua yang duduk-duduk di cakruk, nggak ngapa-ngapain. Saya kagum pada nenek yang duduk-duduk sambil mengawasi cucunya bermain dan hanya bangkit saat cucunya jatuh. Saya kagum pada orang yang duduk tenang di angkot, nggak ngapa-ngapain. Hanya melamun.
Karena ternyata nggak ngapa-ngapain itu penting. Saya belajar soal ini saat bersama temen saya R dulu (siapa dia?). Tidak banyak yang saya ingat dari kata-katanya itu, tapi ini yang salah satu yang tertinggal kuat di benak saya.
Dia membuat gambar sebuah gambar labirin yg cukup rumit, dia menyuruh saya mencari jalan keluar dari labirin yg berputar-putar itu, dan dengan mudah saya menemukannya Nah,Gampang, kan? Gampanglah. Kalau nggak gampang, silakan balik ke TK candanya hehe.
Tapi coba bayangkan Anda ada di dalam labirin ini. Ada menjadi titik kecil di dalamnya. Dan Anda harus keluar. Hah, bisa seharian Anda putar-putar dan belum tentu ketemu.
Itulah yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terjebak atau mencemplungkan diri dalam labirin setiap saat. Betapa bising kita akan informasi yang tak pernah berhenti di internet, televisi, bahkan benda sekecil hape. Kita sibuk bersosialisasi, ke sana ke mari, bertemu banyak orang, bekerja tanpa henti.
Kita terseret ke dalam keriuhan dunia dan saat kita menghadapi masalah lalu butuh keluar, kita kebingungan. Lah, kita sendiri ada di dalamnya.
Ambil contoh teman saya A. Dia terjebak dalam love affair yang tidak fair. A punya pacar B. Masalahnya B adalah suami orang. A kebingungan karena masa depannya tidak jelas. B mengeluh soal istrinya yang kurang ini itu, tapi disuruh menceraikan juga tidak mau. Sementara A ingin menikah dan membangun keluarga.
Andai A bertanya pada Anda, “Apa yang harus kulakukan?” apa jawaban Anda? Tanpa berkedip pun Anda bisa menjawab, “Tinggalin B. Jelas dia cowok brengsek. Tukang selingkuh. Tidak bertanggung jawab.” Gampang, kan? Iya, gampang. Buat Anda. Tapi belum tentu gampang bagi A. Kenapa? Lah, A yang jatuh cinta. A-lah yang merasakan gimana sepinya hidup tanpa B. A-lah yang gampang apakah ada pria yang bakal menggantikan B andai mereka putus dan seterusnya.
Mudah sekali bagi kita yang tidak terjebak dalam labirin untuk melihat jalan keluar. Dan inilah yang kita butuhkan andai kita terjebak dalam labirin: mengambil jarak, melihat dari kejauhan, melihat dari luar.
Mari kita berlatih mengambil jarak di antara keriuhan. Ada yang melakukan ini dengan ibadah rutin (sholat misalnya), ada yang melakukannya dengan bengong di tepi sawah, di tepi danau, di pantai, ada juga yang melakukannya dengan meditasi.
Dalam kebengongan, sungguh pikiran akan di-restrat dalam kesuwungan, lalu pikiran jernih mulai timbul. Pelan-pelan ide akan keluar. Kalau kita punya masalah, jalan keluar akan tampak atau kalau pun tidak tampak, mungkin akan muncul perspektif baru: oh, bukan aku saja yang mengalaminya. Oh, sebenarnya masalahku nggak seberat yang kubayangkan. Oh, ini akan berlalu.
Dalam kasus saya, biasanya akan timbul ide-ide baru dalam pekerjaan saya, karena pekerjaan yang saya tekuni dalam bidang jasa seni membutuhkan kreatifitas-2 yang harus selalu ada . Kalau ide-ide saya mandeg, yang perlu saya lakukan adalah mengendapkannya dulu beberapa saat, meninggalkannya sejenak, mengambil jarak dan saya bengong, saya biasa melakukannya di pantai saat senja, itu adalah saat terbaik untuk melakukan ritual bengong menurut saya, anda mungkin berbeda.
Dalam kebengongan, saya mencari ilham, saya mengamati orang-orang. Saya mensyukuri bahwa saya bisa melakukan hal yg kebanyakan orang tidak bisa lakukan. Orang mengajak saya bicara. Orang itu saya jamin tak kan mengajak saya bicara bila saya menekuri hape atau buku. Selalu ada yang bisa saya petik dari obrolan yang tercipta dari kebengongan, misalnya,di mana bisa beli nasi goreng yang enak saat ini, ternyata saya sudah lapar pemirsa..
Jadi, mari bengong sejenak... #Ken Terate
Komentar
Posting Komentar